April 29, 2008

Senyum Anggota Dewan

Apa pendapat anda tentang senyuman tersangka kasus suap pengalihan hutan Kabupaten Bintan, Al Amin Nur Nasution? Mungkin kita akan mengatakan bahwa senyuman yang muncul dari bibir Amin seharusnya tidak perlu. Mengapa? Seharusnya orang yang menjadi pesakitan atau tersangka korupsi menunjukkan wajah yang sedih, malu, dan stress. Namun tidak dengan Amin. Sewaktu disorot oleh wartawan media cetak dan elektronik, Amin masih mengumbar senyum, dan mengatakan dirinya tidak bersalah. Amin mengaku uang yang ditemukan oleh KPK adalah milik pribadinya.

Penulis justru menafsirkan senyuman Amin sebagai suatu bentuk pelecehan terhadap KPK dan seolah-lah memposisikan dirinya di atas angin (baca: aman). Seandainya penafsiran ini benar, alangkah tragisnya image lembaga penegak keadilan di negeri ini. Lembaga sekaliber KPK saja diremehkan oleh Amin, apalagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.

Senyuman Amin membuktikan bahwa hukum di negeri ini masih lemah untuk menjerat seorang koruptor. Amin sendiri tertangkap tangan sedang bertransaksi uang haram, namun masih mengatakan dirinya tidak bersalah ditambah lagi oleh PPP yang meminta KPK untuk mengklarifikasikan lagi status tertangkap tangan yang dialami oleh Amin. Di Indonesia ini memang lucu bin lucu. Orang yang jelas-jelas tertangkap tangan melakukan suap, masih juga dikatakan tidak bersalah. Masak iya KPK mau mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai pendekar keadilan. Kata berbohong untuk kejahatan bukanlah karakter orang-orang yang ada di KPK. Penulis sangat yakin hal tersebut.

Kalau ada orang yang mengatakan, sah-sah saja jika Amin membela dirinya. Setiap orang pasti akan membela dirinya jika dianggap bersalah, walaupun kesalahan dia telah terbukti. Menurut hemat penulis, itu tidak masalah dan serahkan saja semuanya kepada KPK. Namun, menyerahkan semua masalah kepada KPK merupakan suatu tindakan yang tidak tepat. Kita boleh saja menaruh kepercayaan besar terhadap KPK, namun kontrol sosial terhadap KPK harus tetap jalan. Sudah menjadi kewajiban media massa dan lembaga swadaya masyarakat untuk senantiasa mengontrol kinerja KPK. Ingat, KPK itu bukan malaikat, melainkan manusia yang sama dengan kita dan pasti melakukan kesalahan juga. Jika KPK melakukan kesalahan yang dilakukan oleh oknum, kita tidak langsung memvonis KPK tidak layak menjadi Pendekar Keadilan. Hal yang dulu pernah dialami oleh Irawady Yunus, sebagai angggota Komisi Yudisial. Apakah semua anggota KY mengalami kebobrokan moral?

Wibawa lembaga penegak hukum di negeri ini memang sudah rendah sekali. Hukum hanya berpihak kepada orang-orang kaya yang mampu membeli hukum. Hukum tidak memihak kepada orang tidak berduit. Hukum efektif jika tersangka dan penjahatnya tidak mempunyai kekuasaan, jabatan, dan uang. Jika mempertanyakan tentang mafia peradilan, lagi-lagi yang menjadi biang keladinya masalah kesejahteraan para jaksa dan hakim. Menurut mereka, tugas yang diemban tidak sebanding dengan gaji yang mereka dapatkan. Sehingga sangat sulit melarang aparat hukum bersih dari praktek suap-menyuap dan korupsi.

Untuk meningkatkan kesejahteraannya, beberapa hari yang lalu para jaksa melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikan gaji dan kesejahteraan mereka. Pertanyaannya adalah, apakah benar dan bisa kenaikan gaji mampu membuat para penegak hukum tidak korupsi? Sekilas hipotesis tersebut dapat dibenarkan sebagai salah satu solusi untuk mencegah aparat hukum melakukan tindak white collar crime. Tapi perlu diingat, secara filosofis manusia itu tidak pernah merasa cukup dan ada kecenderungan untuk berlaku tamak. Filosofi ini berlaku bagi manusia yang jauh dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas. Jangankan orang yang yang tidak beriman, orang beriman pun masih terjebak oleh tingkah laku suap dan korupsi. Jadi, kenaikan gaji tetap bisa dipertimbangkan untuk meminimalisir perilaku suap dan korupsi. Tetapi, kenaikan gaji juga harus diimbangi oleh profesionalisme penegak hukum dan hal itu harus termaktub dalam peraturan yang ketat.

Banyak orang memandang praktek penegakan hukum di negeri ini sudah sangat parah sekali. Kondisi tersebut membuat masyarakat geram dan menuntut kepada pemerintah untuk mencontoh China. China sendiri sangat tegas terhadap pelaku korupsi. Jika ada pelaku korupsi yang terbukti, pemerintah China langsung menjatuhkan hukuman mati. Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah China terhadap pemberantasan korupsi, Presiden China sebelum Hu Jintao, Zhang Zemin, mengatakan bahwa dia telah menyiapkan 100 peti mati bagi koruptor, termasuk peti mati untuk dirinya sendiri. Hal yang seperti inilah yang diinginkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Masyarakat meminta Presiden SBY juga menerapkan hal yang sama kepada para koruptor di negara ini. Penyakit korupsi harus segera diamputasi supaya tidak menyebarkan virus kepada generasi muda.

Pertanyaannya adalah apakah Presiden SBY berani mengambil langkah tersebut? Menjelang pilpress 2009, tidak menutup kemungkinan SBY akan melakukan suatu gebrakan untuk membangun citra dirinya agar bisa mengatrol suara sebanyak mungkin. Suatu hal yang mungkin saja terjadi, SBY akan melakukan gebrakan pemberantasan korupsi. Namun untuk menjerat pelaku korupsi dengan hukuman mati? Wallahu’alam.

No comments: