April 26, 2008

AAC: PIONIR KEBANGKITAN FILM NASIONAL

Mengapa film Ayat-ayat Cinta (AAC) fenomenal dan menjadi pembicaraan banyak orang saat ini? Pertama novel tersebut sudah berulang kali naik cetak dengan jumlah total 400 ribu lebih eksemplar buku yang tersebar saat ini. Sebuah rekor yang ajaib untuk sebuah novel karya anak bangsa. Pertumbuhan tersebut makin beranjak naik dengan kehadiran film dengan judul yang sama. Hal ini terjadi karena para penonton tidak begitu puas dengan hanya menonton filmnya saja. Sehingga mereka merasa perlu untuk membeli bukunya. Untuk itu AAC dapat dikatakan sebagai buku megabestseller, bukan hanya bestseller. Hal ini merupakan penilaian seorang sastrawan nasional, Ahmadun Yosi Herfanda.

Film fenomenal Ayat-ayat Cinta dinominasikan meraih sembilan penghargaan dalam Festival Film Bandung (FFB) 2008 pada 29 April mendatang. Ayat-ayat Cinta yang dibintangi Rianti Cartwrigh dan Ferdi Nuril itu bersaing ketat dengan film Get Maried yang dibintangi Nirina Zubir. Berdasarkan penilaian dewan juri film AAC memenuhi kriteria sembilan kategori dari 11 kategori yang diperlombakan. Film Ayat-ayat Cinta dinominasikan meraih penghargaan sebagai film terpuji,editing terbaik, penata artistik terbaik, penata kamera terpuji, penata musik terpuji, penulis skenario terbaik, sutradara terpuji, pemeran utama pria terpuji, dan pemeran utama wanita terpuji.

Penulis novel Ayat-ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy, bakal menerima penghargaan hadiah Sastra Pusat Bahasa dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pasalnya, sastrawan tersebut dianggap telah membina dan mengembangkan kesusastraan di Indonesia dalam warna baru, yakni pencitraan Islam yang yang penuh kasih sayang, kedamaian dan jauh dari citra kekerasan.

Novel AAC mendapat penghargaan sebagai novel nomor 1 Indonesia versi Insani Award universitas Diponegoro Semarang. Sebuah penghargaan dari komunitas intelektual yang tak diragukan lagi kapasitas dan kredibilitasnya. Penghargaan itu langsung diberikan oleh pembina utama organisasi tersebut dan merangkap sebagai Pembantu Rektor IV Undip, DR. Muhammad Nur, DEA. Acara penyerahan penghargaan itu disaksikan langsung oleh salah satu pakar sastra dari program magister ilmu sastra Undip, DR. Muhammad Abdullah, MA.

Selain itu Novel AAC meraih penghargaan dari Forum Lingkar Pena (FLP) pusat sebagai novel terpuji nasional. Sebuah penghargaan yang datang langsung dari sebuah organisasi yang melahirkan seorang penulis fenomenal yaitu, Kang Abik sendiri. Penghargaan ini boleh dikatakan sebagai tindakan “nepotisme”. Namun nepotisme yang harus bahkan wajib dilakukan. Saya pikir tidak ada yang akan mendemo keputusan FLP untuk menganugrahkan Pena Award 2005 kepada kang abik. FLP sendiri adalah wadah kepenulisan anak muda yang tersebar di seluruh indonesia. Kapabilitas lembaga yang didirikan oleh Helvi Tiana Rosa dan kawan-kawan sangat diakui di jagat kesusastraan nasional. Bahkan regional seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sebuah lembaga yang telah melahirkan dan membina penulis-penulis muda berbakat maupun tidak berbakat.

Lembaga sekaliber IKAPI DKI Jakarta juga ikut memberikan penghargaan berupa IBF Award 2006 dengan kategori buku fiksi dewasa terbaik. Beberapa penghargaan, diantaranya dari majalah muslimah dan Koran Republika menyebutkan karya Kang Abik (nama akrab Penulis AAC) mampu menggeser popularitas Novel Harry Potter (selisih 4 suara) dan Penulis AAC dianggap sebagai salah satu Tokoh Perubahan Indonesia 2007 dengan predikat The Sound of Moral.

Dari sekian banyak penghargaan yang diterima oleh Kang Abik, yang paling fenomenal adalah kepedulian para pejabat di negeri ini terhadap film nasional. Berawal dari kedatangan Wapres Yusuf Kalla yang ditemani istri menonton film AAC. Kedatangan wapres juga ditemani oleh Ketua MPR RI dan beberapa pejabat tinggi negara, merupakan suatu bentuk penghargaan yang tak ternilai. Hal ini menandakan bahwa film tersebut telah memasuki ranah politik dan disenangi oleh para politisi.

Klimaksnya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga meluangkan waktu untuk menonton film itu. Hebatnya, SBY mengajak serta 80 duta besar asing untuk nonton film bersama dan menyewa bioskop XXI secara khusus lewat lembaga kepresidenan. Presiden ingin memberikan pengajaran kepada seluruh Dubes tentang ajaran kasih sayang dan cinta damai yang sesungguhnya. Tindakan Presiden sendiri menuai pro dan kontra di antara politisi oposisi seperti Aria Bima dari PDI Perjuangan. Aria Bima menilai perilaku SBY kayak orang tidak ada pekerjaan saja dan menganggap tidak penting. Sebagian orang juga kecewa dengan tindakan SBY yang lebih mementingkan nonton film dibandingkan mengurus bangsa yang sedang terbelit masalah subsidi BBM dan harga sembako yang terus melonjak naik.

Di sisi lain orang menilai tindakan SBY adalah hal yang wajar. Apakah seorang presiden tidak boleh menonton film atau refreshing sejenak dari kesibukannya. Bukankah presiden mempunyai misi ketika mengajak para dubes menonton AAC. Presiden juga manusia biasa seperti kebanyakan rakyat Indonesia. Presiden juga butuh hiburan juga. Apakah itu salah? Begitulah, mungkin, suara-suara yang muncul dari para pendukung presiden dan wapres. Terlepas dari itu semua, dari dua kutub yang berbeda, yang jelas film AAC memberikan warna baru bagi perfilman nasional kita. Mungkin juga film AAC akan menjadi lokomotif kebangkitan film nasional yang sedang mencari jati diri dan penonton yang loyal. Kehadiran AAC diharapkan mampu mengubah image tentang perfilman Indonesia yang negatif, seperti klenik dan cinta picisan yang tidak senonoh bakan cenderung pornografis. Conggratulation buat Kang Abik dan AAC-nya!

1 comment:

Sofian said...

setuju banget, memang AAC pionir kebangkitan film indonesia, apalagi selama dalam sejarah perfilman, baru AAC lah yang memiliki penonton dalam jumlah funtastic dan ditonton langsung oleh presiden RI beserta para duta dan menterinya..
komen bwt eskiway, animasinya jgn singa dong tapi ulat bulu biar cocok dengan blognya..
blognya kren kok..