May 18, 2008

OTOKRITIK SEBELUM MENGKRITIK

Pernahkah kita merasa dibohongi oleh pemimpin yang telah kita pilih dalam pilkada? Jawabannya mungkin saja banyak dan berbeda. Namun bila kita cermati disekeliling kita, maka kita akan menemui orang yang merasa dibohongi oleh calon yang didukungnya, namun setelah terpilih calon tersebut, orang tadi menganggap bahwa calon tadi telah melakukan tindakan korupsi. Ambil contoh yang terjadi pada pilkada gubernur tahun 2005. sebutlah pelaksanaan tes cpns yang tidak sesuai dengan konsep awal, sanak-keluarga yang duduk dijajaran birokrasi yang satu daerah, pembangunan yang banyak menimbulkan kebocoran, dan sebagainya. Ucapan ini seringkali muncul, walaupun susah untuk dibuktikan. Yang jelas inilah opini kebanyakan masyarakat yang ada di propinsi Bengkulu. Komentar-komentar negative seringkali terlontar dari mulut mereka walaupun mereka sendiri sukar untuk membuktikannya. Siapakah yang perlu disalahkan dalam hal ini? Pemilih atau yang dipilih?


Sudahlah kita tidak perlu saling menyalahkan diantara kita semua. Yang perlu kita perbaiki dulu adalah diri kita masing-masing. Kita seringkali tidak menyadari bahwa diri kita juga pernah melakukan korupsi, melakukan nepotisme, maupun kolusi. Hal inilah yang jarang kita renungi. Kita hanya menginginkan orang lain berubah, tetapi kita jarang sekali berusaha untuk merubah diri kita sendiri. Atau kita tidak pernah tahu apakah diri kita bersalah atau tidak. Apakah kita pernah ditegur oleh nurani bahwa kita telah melakukan kesalahan. Cobalah kita berpikir untuk melihat sisi terdalam dari diri kita sendiri. Percuma saja kita mengkritik orang lain, tetapi diri kita sendiri tidak pernah dikritik atau anti terhadap kritik itu sendiri. Kita hanya menginginkan orang itu dikritik, tetapi pernahkah kita mengkritik diri kita sendiri? Atau kita merasa diri inilah yang paling benar dan tidak perlu dikritik. Ayolah, jangan sombong dan sadarlah bahwa kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri setiap hari.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara gampang. Menjadi pemimpin itu sangat sulit dan besar sekali tanggung jawabnya (kalau calon pemimpin itu sadar!). menjadi pemimpin memerlukan pengorbanan besar baik harta, waktu, bahkan jiwa. Seorang pemimpin memiliki waktu 24 jam sama dengan masyarakat biasa, bedanya kualitas pemanfaatan waktu 24 jam tersebut. Seringkali seorang pemimpin yang menjadi presiden, gubernur, walikota maupun bupati selalu menjadi sasaran empuk cacian- makian, kritikan, sumpah-serapah, masukan, bahkan pembunuhan dari masyarakatnya sendiri.
Di sisi lain, masyarakat selalu dijadikan sapi perah, dieksploitir, dibohongi. Namun tidak semua hal itu terjadi pada semua masyarakat maupun pemimpin. Ada juga pemimpin dan masyrakat yang bermitra dalam hal positif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara mereka.
Dalam konteks propinsi Bengkulu, saya sering mendengar ucapan yang mengatakan bahwa gubernur Agusrin itu meminta fee 10 % dari proyek pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, bapak Agusrin juga disebutkan telah memasukan sanak-keluarganya di jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, sehingga ada istilah Semua Dari Manna (SDM), Bengkulu selatan, yaitu tempat gubernur dilahirkan. Ada juga yang mengatakan bahwa pembangunan yang dilakukan gubernur tidak konsisten dengan rencana awal. Gubernur juga dikatakan telah menitipkan utang bagi anak-cucu yang ada di propinsi Bengkulu. Akibatnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang mendukung Agusrin kena getahnya, termasuk wakil gubernur Muhammad Syamlan yang terkenal sebagai ustadz kondang di Bengkulu.
Sebagai partai yang terkenal dengan gerakan moralitas dan keagamaan, PKS mengalami penurunan image dari para simpatisan yang telah memilihnya kemarin. Keputusan PKS untuk mengusung Agusrin dan Syamlan harus diakui merupakan pilihan yang tepat karena perpaduan antara profesi pengusaha dan ustadz (guru). Pilihan ini diharapkan dapat memajukan propinsi Bengkulu di bidang ekonomi dan juga meningkatkan akhlak dari penduduknya. Sebuah perpaduan yang ideal.
Setelah berjalan sekian lama masyarakat menilai harapan tersebut jauh panggang dari api. Akibatnya kepercayaan yang diberikan kepada mereka berdua menjadi turun dan masyarakat menilai bahwa mereka telah dibohongi oleh Gubernur. Walaupun banyak orang berharap Wagub dapat menyeimbangkan perilaku Gubernur, namun apalah daya Wagub yang memiliki kewenangan yang terbatas.
Tentu kita semua masih ingat dengan pemecatan Wagub sebagai kordinator tes CPNS. Semenjak itulah Agusrin telah menabuh genderang perang terhadap reformasi yang telah lama digulirkan. Agusrin disebut-sebut tidak mampu membawa perubahan yang selalu dijadikan jargon kampanyenya. Agusrin dianggap masih memiliki pola pikir orde baru. Akhirnya harapan masyarakat yang begitu besar dan terlanjur dialamatkan kepada Agusrin menjadi sirna. Efeknya masyarakat menilai pemimpinnya sama aja dengan orde baru. Sudah pasti ditebak, hal ini pasti akan berimbas pada pemilu selanjut, masyarakat berpikir untuk golput atau tidak memilih pada pilkada yang akan datang. Kalau sudah begitu otomatis tingkat partisipasi politik mereka menjadi menurun. Apesnya, jika yang ikut pilkada bukanlah seorang reformis, sudah dipastikan bangsa ini akan flashback kembali pada zaman soeharto. Akankah kita merelakan hal itu terjadi kembali? Padahal sudah berapa nyawa dan tenaga yang dikorbankan untuk menurunkan soeharto dari tampuk kepemimpinan.
Tapi ada pertanyaan lain yang mesti kita jawab, apakah Agusrin dan Syamlan itu malaikat yang tidak punya nafsu dan tidak akan pernah berbuat dosa? Apakah kita menganggap mereka adalah orang suci yang hanya beribadah dan tidak berbuat dosa? Makhluk seperti apakah mereka kalau begitu? Kita seenaknya saja mengkritik mereka, tetapi kita tidak pernah tahu bagaimana sulitnya membangun propinsi Bengkulu yang heterogen dan tertinggal ini. Atau justru pola pikir kita yang primitif menyebabkan kita menjadi miskin. Kita selalu menginginkan perubahan secara revolusioner bukan secara gradual. Coba jika jabatan gubernur dan wakil gubernur itu kita yang menjalankannya? Apakah sama dengan mereka, lebih buruk dari mereka, atau lebih baik dari mereka? Pernahkah kita membayangkan hal tersebut? Saya berani mengatakan bahwa tidak ada jaminan apapun kita lebih baik dari mereka. Yang ada hanyalah ucapan-ucapan dari mulut yang tidak ada action-nya sama sekali, alias omong doang (omdo).
Saya menulis tulisan ini tidak ada maksud melakukan pembelaan terhadap siapa-siapa, hanya mencoba mengkaji fenomena sosial yang ada disekeliling kita secara objektif mungkin. Tidak ada tendensi apapun dalam tulisan ini. Tulisan ini lahir dari sebuah keprihatinan yang mendalam betapa kita seringkali mengkritik seseorang namun kita jarang sekali mengkritik dan memperbaiki diri kita sendiri. Lisan kita selalu berkata, namun perkataan yang kita ucapkan jarang sekali yang baik dan berbobot.
Sekarang yang mesti kita lakukan adalah terus mengawali setiap proyek pembangunan yang sedang berjalan. Kita harus proaktif untuk mengawasi proyek-proyek tersebut dari awal sampai selesai. Kalau mereka bersalah kita harus ingatkan bahwa uang itu bukan milik pribadi melainkan milik orang banyak. Jika mereka berprestasi dan benar harus kita dukung dengan hati yang tulus dan ikhlas dan tidak boleh disembunyikan pujian tersebut. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dari pembangunan. Kita harus ikut serta memberikan sumbangsih yang positif dalam pembangunan daerah kita. Sebagai contoh, jika gubernur ingin menjadikan Bengkulu sebagai kawasan wisata yang dikunjungi oleh orang asing, maka akan kita dukung secara penuh. Tetapi jika pembangun wisata internasional memberikan peluang yang besar untuk menjadi Bengkulu kota pelacuran dan perjudian, wajib hukumnya bagi kita untuk menolaknya secara mentah-mentah. Hal seperti inilah yang mesti kita lakukan agar pembangunan Bengkulu berjalan sesuai hati nurani kita. Ini hanyalah contoh kecil dan masih banyak contoh-contoh yang lain.

No comments: