May 02, 2008

Kota Pelajar atau Surga Hitam


Semua agama telah sepakat bahwa pelacuran atau prostitusi adalah terlarang dan bertentangan dengan agama. Tidak ada ajaran agama maupun adat-istiadat yang mengajarkan manusia untuk melacurkan dirinya, hanya sekadar memperturutkan hawa nafsunya sesaat. Pernyataan ini adalah aksioma (kebenaran) umum yang telah diterima secara baik oleh masyarakat.

Dilarangnya perbuatan zina (prostitusi) tentu ada sebab dan akibatnya. Ada suatu hikmah yang terkandung dari kebijakan Tuhan melarang perbuatan zina. Tuhan telah memperlihatkan kepada manusia betapa zina telah melahirkan suatu penyakit yang sangat ditakuti manusia, AIDS. Sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Belum lagi penyakit menular seksual seperti spilis atau gonorhea, dan masih banyak lagi yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh hubungan intim di luar nikah dan gonta-ganti pasangan.

Membaca uraian di atas, kita sangat menyesalkan keinginan sebagian kecil orang yang ingin melegalkan prostitusi. Ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis, kebijakan tersebut tidak popular. Dari dua aspek tersebut sudah tidak popular, bagaimana jika dari sudut agama? Itu artinya pemerintah berperilaku hipokrit atau menjilat ludah sendiri apabila mencabut peraturan daerah yang melarang prostitusi. Ketika masyarakat berusaha mewujudkan suasana agamis di bengkulu. Pemerintah justru ingin membuka pintu kerusakan tersebut kembali. Pertanyaannya, apa fungsi kebijakan jilbab untuk anak-anak sekolah/pelajar selama ini?

Hendaknya pemerintah tidak mencabut perda yang sudah ada. Jikalau perda itu mengalami kelemahan, ada baiknya yang perlu direvisi adalah pelaksana lapangan atau teknis yang berwenang. Apakah selama ini telah maksimal memberantas pelacuran? Atau bermain mata dengan germo? Diperlukan law enforcement dan political will pemerintah, karena pada dasarnya setiap konsep yang dibuat sudah bagus. Hanya saja, pelaksanaannya saja yang kurang atau setengah hati.

Apa yang sedang berkembang saat ini sangat ironis sekali dengan keinginan sebagian besar masyarakat. Di satu sisi masyarakat –yang diwakili organisasi Islam, kepemudaan, dan kewanitaan- berusaha untuk melarang legalisasi prostitusi. Di sisi lain ada sekelompok orang mencoba untuk melegalkan kembali kegiatan prostitusi dengan dalih ekonomi dan hak azazi manusia. Memang ini merupakan suatu kewajaran adanya perbedaan pendapat di antara dua kutub yang berbeda. Selain itu wajar saja jika ada yang memperjuangkan kebenaran dan kejahatan.

Namun, alangkah bijaksananya jika fitrah manusia dikembalikan seperti semula. Karena, pada dasarnya manusia dilahirnkan dalam keadaan putih bersih bak kertas. :kehidupan seorang anak ibarat selembar kertas yang padanya setiap orang yang melewatinya akan meninggalkan suatu kesan”, begitu pepatah cina mengatakan (Rose, 2003:337).
Lingkungan adalah faktor yang paling dominan menentukan perilaku seseorang. Sebuah teori psikologi perkembangan menyebutkan bahwa manusia dalam berperilaku dipengaruhi oleh tiga hal. Yaitu: stimulus, organisme, dan respon (disingkat: SOR). Seandainya pemerintah membuka kembali lokalisasi, itu artinya pemerintah telah melakukan stimulus kepada orang banyak untuk melakukan kejahatan seksual. Sama artinya pemerintah telah melakukan tindakan pidana. Untuk itu dirasa perlu dimintai pertanggungjawabannya oleh masyarakat, jika generasi muda terimbas oleh praktik asosial tersebut.

Dalih Keuntungan Ekonomi
Berbicara tentang keuntungan ekonomi akibat legalisasi prostitusi merupakan tema sentral yang sering dijadikan legitimasi oleh polcy maker. Namun pada praktiknya hal itu tidaklah tepat, melainkan sebaliknya. Di awal tulisan ini telah dikatakan, legalisasi prostitusi justru mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Bagaimana bisa pemerintah mengatakan lokalisasi WTS memberikan keuntungan untuk PAD, sedangkan pemerintah juga berjuang memberantas atau meminimalisir penyebaran AIDS?

Apakah pemerintah pernah memikirkan besarnya dana untuk menanggulangi virus HIV? Berapakah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan pelatihan dan penyluhan kepada penghuni lokalisasi? Termasuk penyuluhan untuk generasi muda? Apakah sebanding keuntungan ekonomi dengan dampak moral yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut? Belum lagi kerusakan sistem dan struktur sosial yang diakibatkan oleh prostitusi. Seperti, anak-anak yang lahir tanpa bapak. Atau WTS yang terpaksa membunuh (lewat aborsi) janin yang sedang dikandungnya, hanya karena janin tersebut tidak diinginkan. Apakah ini yang dinamakan keuntungan ekonomis?

Kalau memang pemerintah berkemauan kuat untuk meningkatkan PAD, membina dan memberdayakan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan pertokoan merupakan langkah yang jitu. Di masa krisis ini, bukankah daya beli masyarakat turun? Otomatis mereka akan membeli sesuatu sesuai dengan pendapatan mereka. Peluang ini ditangkap oleh PKL. Akibatnya secara kuantitas PKL semakin menjamur, dan masyarakat pun tidak keberatan atau sungkan berbelanja dengan mereka. Menurut hemat penulis, PKL memiliki potensi besar bagi pembangungan bila dikelola dengan manajemen profesional. Bukan manajemen pungutan liar. Untuk lebih lanjut, belajar dengan Taiwan dan Korea Selatan merupakan keputusan berbobot.

Dalih Menghormati HAM
Ada juga menganggap legalisasi WTS adalah untuk menghormati hak azazi manusia. Namun ironisnya, ada suatu lembaga yang memperjuangkan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan. Di satu sisi memperjuangkan hak-hak istri terhadap perlindungan dari kekerasan suami, tentu ini positif. Di sisi lain mereka juga memperjuangkan legalisasi prostitusi, yang justru bertentangan dengan hak-hak wanita untuk hidup lebih terhormat dan terhindar dari kekerasan seksual. Masyarakat akan bertanya-tanya, benarkah perjuangan mereka mengangkat hak-hak wanita benar-benar murni? Kita akan lebih setuju dengan gerakan mereka jika kedua-duanya harus diperjuangkan beriringan. Memperjuangkan undang-undang perlindungan terhadap wanita, termasuk di dalamnya berupa perlindungan terhadap pelecehan seksual berupa legalisasi prostitusi.

Wanita terhormat merupakan tiang negara yang menentukan baik buruknya bangsa ini. Jika anitanya mengalami kemunduran dari aspek moral, apa yang bisa kita harapkan untuk kemajuan bangsa. Wanita dengan perannya sebagai seorang istri dan ibu adalah mulia dalam pandangan setiap orang. Negara membutuhkan seorang ibu yang benar-benar bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya, keluarga, dan bangsa.

Sangat disesalkan bila ada segelintir kalangan intelektual menyetujui legalisasi prostitusi. Adalah tidak pantas jika seorang intelektual atau ilmuwan membuat pernyataan seperti itu. Ini hanya kekhawatiran bila masyarakat menganggap kalangan intelektual tidak becus mendidik moral generasi bangsa (baca: mahasiswa)

Pembangunan Manusia
Pemerintah merupakan kumpulan orang-orang cerdas yang dipercaya dan diamanahi untuk mengelola daerah ini. Sudah semestinya pemerintah lebih mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Untuk itu menyejahterakan WTS, germo, dan hidung belang lewat legalisasi prostitusi merupakan tindakan amoral dan tidak dibenarkan. Justru tindakan itu akan menjerumuskan mereka kepada perilaku asosial yang mengakibatkan berkembangnya patologi sosial dalam diri mereka.

Bila alasan ekonomi lebih diutamakan, kenapa pemerintah tidak memperhatikan pembangunan manusia yang selama ini terlupakan. Seharusnya pembangunan manusia merupakan langkah terbaik untuk memperbaiki ekonomi daerah Rafflesia. Sebaliknya, pemerintah disibukkan dengan pembangunan fisik, tetapi melupakan jati diri sorang manusia. Mencerdaskan rakyat merupakan langkah strategis dan taktis. Pendidikan adalah faktor subtansial untuk diperhatikan daripada sibuk debat kusir tentang legalisasi prostitusi. Berapa banyak uang yang mesti dihamburkan negara untuk legalisasi prostitusi? Atau diduga keras hanya menjadi ladang proyek pribadi atau sekelompok orang di pemerintahan?

Meningkatkan anggaran pendidikan adalah langkah kongkrit mengentaskan kebodohan. Kebodohan akan menyebabkan lahirnya kemiskinan yang berdampak terhadap kehidupan seseorang. Salah satu contohnya adalah maraknya profesi menjadi WTS. Hasil penelitian mengatakan, faktor utama yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan asusila adalah kemiskinan.

Berbicara mengenai pendidikan artinya membanguna indeks pembangunan manusia. Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan aspek-aspek pembangunan manusia ketimbang legalisasi prostitusi. Banyak hal yang bisa dirahih pemerintah jika memperhatikan pembangunan manusia yang dimanifestasikan lewat program pendidikan. Pendidikan diharapkan menjadi solusi kritis untuk membangun bengkulu. Gagasan menjadikan bengkulu sebagai kota pelajar/pendidikan merupakan ide bagus yang perlu diwujudkan. Untuk hal itu, masyarakat manapun akan sangat mendukung kebijakan tersebut. Bersama-sama elemen masyarakat, mari kita jadikan Bengkulu Kota Pelajar Yang SEMARAK. “Ehm…bagaimana Bapak Walikota?”