September 22, 2015

Sekerat Daging dan Sepiring Nasi

Qurban adalah ibadah dicintai Allah swt pada Hari Raya Idul Adha. Menjelang Hari Raya Qurban, sebagian besar panitia qurban di masjid-masjid atau musholla sudah menutup pendaftaran qurban. Bahkan sapi-sapi yang akan diqurbankan pun sudah mulai dibeli dan mendarat di pelataran sekitar masjid atau tanah lapang. Kesibukan panitia-panitia qurban mulai terasa. Disela-sela aktivitas utama, saya hampir dua pekan ini bergerilya ke masjid-masjid di beberapa komplek perumahan. Sekadar melihat papan-papan pengumuman berisi daftar nama-nama pequrban yang sudah kian penuh sesak. Jika berkesempatan, saya mencoba berkomunikasi dengan pengurus masjid atau panitia qurban setempat. Hal yang saya dapatkan dari observasi ringan tersebut adalah, umumnya di masjid-masjid komplek perumahan, jumlah pequrban cukup banyak. Cukup banyak dalam pengertian yang relatif. Sepuluh ekor sapi yang terhimpun di Masjid A boleh jadi berlebih karena penduduknya yang takseberapa banyak. Sementara sepuluh sapi di lingkungan masjid B bisa jadi kurang karena pendudukanya sangat padat. Demikian juga yang terhimpun di musholla-musholla yang menyelenggarakan qurban. Namun obeservasi secara umum, banyak masjid di perkotaan terutama di wilayah Jabodetabek, jumlah qurban dibanding dengan kebutuhan penduduk sangat berlebih. Itu gambaran secara umum. Tetapi ada juga fakta dimana beberapa masjid musholla di pinggiran kota masih kurang atau bahkan belum ada satu sapi pun terhimpun sebagai qurban. Pertengahan Agustus lalu, saya sempat berkunjung ke kampung Kondang, desa Cipanas, kabupaten Lebak, Banten. Kampung Kondang berjarak sekitar 120 km dan ditempuh 3 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi dari Jakarta. Letaknya berada di perbatasan antara provinsi Banten dan Kabupaten Bogor Jawa Barat. Di kampung tersebut, terdapat sekitar 200 KK dari 4 RT. Namun hewan qurban yang terhimpun di wilayah ini tahun lalu hanya 3 ekor kambing. Demikian kabar yang saya dapat langsung dari seorang Pengasuh pondok pesantren di kampung tersebut. Jumlah 3 ekor kambing tentu sangat tidak seimbang dengan kebutuhan warga di sana. Mayoritas penduduk yang memang berekonomi kurang, tentu terasa berat untuk bisa berqurban. Sementara upaya beberapa tokoh masyarakatnya mencari para pequrban di kota-kota untuk bisa dialokasikan ke kampung ini juga telah dilakukan. Ini hanya satu contoh realita dan sekaligus gambaran bahwa banyak di pelosok nusantara masih sangat banyak kampung atau dusun yang kondisinya serupa. Sementara kita yang hidup di perkotaan juga mulai jenuh dengan kenyataan hewan atau daging qurban yang berlimpah. Keadaan timpang inilah yang perlu kita cari solusinya. Barangkali yang perlu diperhatikan adalah fakta yang sering kita lupakan. Yaitu masih ada, dan bahkan banyak saudara-saudara kita di tempat lain yang mungkin tidak terlampau jauh dari tempat tinggal kita, yang dari tahun ke tahun berharap ikut menikmati kebahagiaan dengan mendapatkan daging qurban untuk dijadikan hidangan istimewa di tegah-tengah keluarga mereka. Bagaimana mereka tidak akan ikut berbahagia jika bisa makan sepiring nasi 3 kali sehari saja bagi anak isterinya sudah menjadi hal yang luar biasa. Sementara sekerat daging bagi mereka tentunya seumpama kebahagiaan istimewa. Yaumun Nahar atau Idul Adha sudah seharusnya menjadi hari yang sungguh istimewa dan membahagiakan bagi kaum Muslimin seluruhnya. Menikmati hidangan masakan daging pastilah bagian dari kebahagiaan tersebut. Maka jika ada di sudut-sudut kampung yang luput dari perhatian kita, tidak sampai qurban kita ke sana, pastilah ada yang sedang keliru dengan pengelolaan qurban kita. [Fatih Abdul Aziez:http://www.pkpu.org/news/artticle/sekerat-daging-dan-sepiring-nasi]

No comments: