May 23, 2008

Putih Tak Berdosa

Pernahkah anda menatap bayi sedang tidur di ayunan atau tempat tidur? Saya katakan menatap, bukan melihat. Jika anda pernah menatapnya, apa yang ada di pikiran anda? Bisa jadi jawabannya akan berbeda-beda. Namun saya ingin kita satu suara untuk menjawabnya (anda boleh setuju atau tidak setuju).

Di dalam pikiran kita, ada sebuah ungkapan setelah menatap seorang bayi yang sedang tidur. Anak ini benar-benar tidak berdaya dan tidak berdosa. Keluguan seorang anak manusia yang tidak memiliki prasangka. Bebas dari nafsu angkara murka. Kita juga pernah mengalami hal itu. Namun mengapa sekarang kita menjadi manusia yang sangat berbeda jauh?!

Menatap Bayi

Pernahkah anda menatap bayi sedang tidur di ayunan atau tempat tidur? Saya katakan menatap, bukan melihat. Jika anda pernah menatapnya, apa yang ada di pikiran anda? Bisa jadi jawabannya akan berbeda-beda. Namun saya ingin kita satu suara untuk menjawabnya (anda boleh setuju atau tidak setuju).

Di dalam pikiran kita, ada sebuah ungkapan setelah menatap seorang bayi yang sedang tidur. Anak ini benar-benar tidak berdaya dan tidak berdosa. Keluguan seorang anak manusia yang tidak memiliki prasangka. Bebas dari nafsu angkara murka. Kita juga pernah mengalami hal itu. Namun mengapa sekarang kita menjadi manusia yang sangat berbeda jauh?!

Bayi seperti kertas kosong yang putih bersih tak berbekas belum ternoda oleh noktah hitam atau merah. Siapapun memandangnya akan merasa sejuk dan hilanglah rasa penat sehabis kerja atau kuliah maupun aktivitas rutinitas keseharian. Kelucuannya, keimut-imutannya, matanya yang jernih, kulitnya yang halus, dan tangisannya yang memecah keheningan malam membangunkan orang tuanya untuk bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kita akan merenungi masa lalu ketika kita masih bayi dan kanak-kanak. Pada waktu itu kita tidak berdaya sama sekali. Kita sangat membutuhkan uluran tangan orang lain yaitu, orang tua kita sendiri! Ketika kita menangis, ibu kita datang tanpa memperdulikan ia sedang apa atau sesibuk apapun. Seketika itu juga, ia menyusui kita dan memeriksa apakah kita pipis atau BAB. Dengan kasih sayangnya kita disusui dan kitapun dibelainya dengan lembut tanpa memperdulikan kesusahan yang dialaminya saat itu. Orang tua kita tidak pernah mengeluh untuk menyusui kita!

Orang tua kita tidak meminta bayaran ketika kita disusui, membersihkan popok, memandikan kita, dan melindungi kita dari sengatan matahari, dinginnya malam, dan dari nyamuk malaria. Saat itu kita menjadi makhluk yang paling egois dan tidak mau tahu kesusahan yang dihadapi oleh orang tua kita. Kita hanya tahu kebutuhan kita terpenuhi.

Kita disusui paling lama dua tahun bahkan lebih. Kita juga terus dibina dan didoakan semoga menjadi anak yang saleh dan saleha. Anak yang cerdas dan taat beragama. Anak yang selalu berbuat baik dan patuh kepada orang tuanya. Anak yang cinta kepada tanah airnya.

Dulu kita masih bayi. Kemudian berkembang menjadi anak sekolah dasar. Naik lagi, anak sekolah menengah pertama. Terus, anak sekolah menengah atas, dan lagi menjadi anak kuliahan, dan seterusnya. Apakah kita masih seperti orang yang tidak memiliki dosa atau menyadari bahwa kita adalah pendosa?

Baik-buruknya kita tergantung oleh bimbingan orang tua. Orang tualah yang menjadikan kita islam yang taat, yahudi, nasrani, atau majusi. Orang tua adalah tangan pertama yang mendidik kita menjadi manusia yang sesungguhnya. Masa kanak-kanak merupakan masa imitasi atau meniru-niru karena sikap dan pikiran kritis belum berkembang dengan baik.

Ternyata, yang membuat kita manjadi baik atau buruk bukan hanya dari orang tua. Pengaruh itu datang juga dari lingkungan sebaya dan media massa cetak maupun elektronik. Pengaruh media massa saat ini lebih kuat dari orang tua. Maka orang tua yang tidak memberikan perhatian kepada anak-anaknya, siap-siap saja menemui karakter anarkhis dari mereka.

Bagaimana dengan orang tua yang sibuk dan supersibuk? Terserah mereka dan mereka punya otak untuk berpikir bagaimana mengakali untuk membagi waktu antara mengasuh anak dan bekerja. Itu semua tergantung dari kemauan dan tekad yang kuat untuk mendidik generasi yang saleh dan cerdas. Orang tua yang menanam benih baik dan berkualitas akan menikmati hasil yang sama. Sebaliknya, orang tua yang cuek dan putus asa akan menikmati hasil yang sepadan.

Namun saya ingin kita semua mengoreksi diri. Mengoreksi tentang dosa yang selama ini kita lakukan. Padahal dulu kita adalah makhluk tanpa dosa dan lugu. Sekarang kita menemui banyak sekali tantangan dan hambatan. Mari kita mengoreksi diri untuk selalu berbenah diri menjadi pribadi yang paripurna. Kita bukan malaikat yang suci, tapi kita bisa melebihi malaikat. Setiap kejahatan haruslah dibarengi dengan kebaikan bahkan lebih banyak kebaikan ketimbang kejahatan. Diri kita seperti kaca jendela rumah yang bersih dan bening. Seiring bertambahnya waktu, jendela tersebut akan berdebu-debu oleh polusi. Bayangkanlah jendela yang tidak pernah dibersihkan…lama-lama jendela tersebut akan menjadi gelap dan sangat kotor. Jendela yang penuh dengan debu, akan menutupi “cahaya” yang ingin menyinari seisi rumah agar terbebas dari “virus” maupun “bakteri” penyakit. Maka, rajin-rajinlah kita membersihkan jendela tersebut, agar sinar matahari yang cerah bisa memasuki rumah kita.

Sekali-kali maupun seringkali, cobalah untuk menatap seorang bayi ketika mereka tidur di ayunan atau tempat tidur. Terserah, apakah bayi itu anak anda, anak paman atau bibi anda, anak tetangga, anak saudara laki-laki atau perempuan, atau anak yang anda temui di depan rumah anda…perhatikan dan tatap mereka lebih dalam. Setelah itu, cobalah untuk merenunginya sedalam-dalam yang anda mampu. Selamat mencoba dan merenung!


No comments: