March 06, 2013

BE XO OR BE NO ONE

Apakah salah satu karunia terbesar Tuhan kepada kita? Jawabnya tegas: karunia untuk memilih! Free will to choose! Stephen covey juga menegaskan hal itu. Namun, karunia itu juga sering membingungkan kita. Ada demikian banyak pilihan dalam hidup kita, dan itu sering membingungkan – terutama jika terkait langsung dengan pilihan dan peluang karir, cita-cita, keberhasilan, dan seterusnya.
Manusia sesungguhnya ada sebuah pedoman yang akan mengarahkan kita pada sebuah pilihan hidup yang jelas dan tegas. Pedoman itu berupa pemahaman akan kodrat kita, mengerti kodrat kita sebagai manusia. Kodrat kita mengacu langsung pada keberadaan kita sebagai ciptaan-Nya yang paling tinggi dan mulia. Jika kondisi tersebut sebagai acuan – maka pilihan kita Cuma satu: menjadi manusia luar biasa, manusia dahsyat, yang dalam bahasa saya disebut: xo person-extraordinary person! Seperti dikatakan james rohn (salah satu tokoh pengembangan diri yang luar biasa), “tugas kita di dunia Cuma bertumbuh, sukses, sejahtera dan bahagia selama di dunia (pen-dan akhirat tentunya yang lebih utama).” Inilah cerita manusia super normal, extraordinary! Jadi tak ada pilihan kelabu. Sebab jika kita ragu, berarti kita melawan kodrat kita untuk menjadi manusia istimewa. Jika demikian halnya, kenapa lebih banyak orang kurang sukses, bahkan sama sekali gagal dalam hidupnya? Ada beberapa jawaban mendasar untuk itu: Pertama, sedikit sekali orang yang menggunakan kehendak bebasnya untuk sukses dan menjadi super normal. Banyak orang “ingin” sukses dalam hidupnya, namun sedikit orang yang “memilih” untuk sukses. Menginginkan dan memilih, sungguh dua kata dan terminology yang mutlak berbeda. Ingin, bisa jadi sekadar kepingin, membayangkan, namun cenderung tetap tinggal dalam angan-angan dan mimpi kosong. Sedangkan memilih, sudah melibatkan segenap komitmen, sikap, tekad, dan totalitas jiwa-raga untuk sukses. Ekstrimnya, darah pun telah disipakan untuk menghidupi sebuah pilihan. Kedua, adanya mindset yang salah menjalani kehidupan! Butir kedua ini akan dibahas lebih mendalam, sebab demikian banyak kesusahan, kesemrawutan, dan kesimpangsiuran kehidupan berawal dari mindset yang salah ini. Baiklah, saya mulai dengan frase berikut: hamper semua orang ingin kaya! Perhatikan di sekeliling kita! Di toko buku, di ruang seminar atau pelatihan, iklan dan banyak lagi lainnya- mata dan benak kita dijejali oleh kata serta terminology “kaya, kaya, dan kaya”. Artinya, ada sekian banyak buku, wacana, dan berbagai kegiatan lain yang mempromosikan, mengajarkan, mengkampanyekan “bagaimana kita menjadi kaya?” lebih kongkritnya, semua cara dan metode menjadi kaya itu terkait langsung dengan “uang, uang dan uang!” Ada yang lebih sahsyat lagi, sebagian pihak malah menjejali mata dan benak kita dengan “bagaimana menjadi kaya dengan cepat!” dosakah menjadi kaya? Salahkah mempunyai banyak uang dan harta? Sama sekali tidak, tapi sekian banyak kampanye tentang menjadi kaya dan segala sesuatu yang menyangkut kekayaan, bias membuat kita misleading, disorientasi dalam menjalani kehidupan dan fungsi hidup kita. Padahal, kalau bicara soal menjadi kaya (dengan cepat). Ada isyarat dari Aidil Akbar Madjid (chairman IAFRC-indonesia, senior partner pavilion wealth management) yang menyimpulkan soal ini dari buku burton malkiel – dari semua kiat yang diberikan – menjadi kaya itu Cuma terangkum dalam dua kata: disiplin dan kesabaran. Maka, kalau diperhatikan, setidaknya ada dua gejala besar dalam kehidupan masyarat kita belakangan ini: a) gejala dan gerakan yang gerah dari sebagian (bahkan mungkin mayoritas masyarakat yang ingin (cepat) kaya, dan b) gejala masyarakat yang mengalami kekecewaan akibat keinginannya untuk menjadi kaya (dengan cepat) sulit terpenuhi. Para peserta seminar, pelatihan atau mereka yang membaca buku-buku praktis menjadi kaya dan banyak uang – ketika harus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata mereka masing-masing justru sering kebingungan dan mangalami disorientasi. Jadi dewasa ini, khususnya masyarakat di Indonesia, mengarah pada apa yang saya sebut sebagai “the disoriented society”-“masyarakat hilang arah” parahnya, itu semua terjadi di tengah kehidupan yang semakin pengap dan susah. Kaya (dengan cepat) susah dicapai, mengalami kejenuhan, kebingungan dan akhirnya demotivasi. Ketika itu terjadi, fungsi hidup keseharian mereka akhirnya malah amburadul. Hidup dalam angan-angan, mimpi kosong, persis orang yang hidup dibuai fatamorgana dan ilusi obat psikotropika. Untuk itu kita perlu menghayati dulu sebuah proses kehidupan yang telah berlangsung bukan hanya berabad-abad lamanya, namun abadi sifatnya. Seperti sungai mengalir dari hulu ke hilir dan akhirnya bermuara di samudra lepas. Seperti proses dari yang awal menuju akhir. Maka dalam kehidupan manusia sepanjangan sejarah, ada sebuah proses yang bergerak dari “kondisi sejati” menuju “konsekuensi logis.” Kondisi sejati adalah hulu, awal. Konsekuensi logis adalah hilir, akhir. Konsekuensi logis sekadar sebuah kondisi yang akan dan pasti terjadi, jika kita telah melakukan atau melaksanakan (kondisi) yang sejati. Contoh sederhana, jika kita “makan, maka kita akan dan pasti “kenyang”. Bila kita “merampok”, maka kita akan “masuk penjara.” Keadaan ‘kenyang’ dan ‘masuk penjara’ inilah yang disebut sebagai konsekuensi logis. Bagi seorang atlit, konsekuensi logisnya adalah hadiah, uang, ketenaran, atau piala kejuaraan. Ketika seseorang menjadi atlit atau “juara sejati”, maka hadiah atau uang akan dating dengan sendirinya. Pelajar sejati, maka konsekuensi logisnya adalah peringkat, nilai baik, kelulusan, dan seterusnya. Maka yang perlu lebih dulu dikejar adalah bagaimana menjadi atlit, pelajar atau profesi lain apapun yang “sejati”. Ketika kondisi sejati itu telah dicapai, maka segenap konsekuensi logis akan dan pasti dating dengan sendirinya. Cuma celakanya, jaman dan masyarakat modern memutarbalikkan proses kehidupan abadi itu. Hamper setiap upaya kehidupan ditujukan lebih dulu untuk mengejar konsekuensi logis, bukan yang sejati. Di dunia olah raga, pelatih, manajer, klub, cenderung mendorong atlit untuk lebih dulu mengejar hadiah atau uang, bukannya mendorong atlitnya untuk lebih dulu menjadi atlit atau juara sejati. Didunia pendidikan, orang tua, guru bahkan sekolah serta perguruan tinggi, cenderung mendorong siswa dan mahasiswa untuk lebih dulu mengejar nilai atau kelulusan sebagai konsekuensi logis, bukannya menjadi pelajar sejati. Di dunia politik, para pemimpin negeri ini lebih memilih mengejar dulu konsekuensi logis, yakni kekuasaan dibandingkan untuk memprioritaskan menjadi pemimpin sejati. Hamper semua dimensi kehidupan diperlakukan secara salah-kaprah seperti itu. Akibatnya, terjadi banyak disorientasi kehidupan. Demi semua konsekuensi logis, segala cara digunakan. Atlit melakukan doping, pelajar membeli soal ujian, joki, dan lainnya. Mental sudah rusak lebih dulu. Namun itulah ironi kehidupan, biasanya upaya-upaya semacam itu sangat digemari, serba instant, melupakan yang sejati. Perlu ditegaskan lagi perbedaan antara “kesejatian” dengan “konsekuensi logis” ini. Kesejatian wajib dikejar lebih dulu, dan konsekuensi logis – apapun bentuknya – akan dating mengiringi. Jangan dibalik, konsekuensi logis dikejar lebih dulu. Jika ini yang terjadi, maka berlakulah tuah “jemari menunjuk bulan”, bukan bulan yang kita pandang, jari-jemari kita sendiri. Kita tak pernah melihat dan sampai ke bulan, sungguh sebuah kehilangan besar dalam sebuah kehidupan. Kerancuan menentukan “mana lebih dulu”: kesejatian atau konsekuensi logis, hanya akan menimbulkan banyak “penderitaan, kekecewaan, keberhasilan sesaat, demotivated dan pecahnya kepribadian.” Inilah yang dimaksud dengan membalik “proses kehidupan.” Dan biasanya, di sinilah kita sering terjebak. Kita sadar, atau tidak lebih suka mengejar lebih dulu berbagai konsekuensi logis. Baiklah, jatuhkan segera pilihan anda untuk: 1)sukses, 2) sukses, dan 3) sukses! Selanjutnya, change your mindset: kejar dulu “kesejatian” hidup anda, tak peduli siapa dan sebagai apa pun anda saat ini, jadilah lebih dulu manusia sejati, xo person! Uang kekayaan, nama besar, dan seterusnya hanyalah konsekuensi logis – yang akan datang dengan sendirinya. Jangan semua konsekuensi logis itu dulu yang dikejar. Ketika anda sudah mampu merubah mindset, kehidupan anda akan berubah dratis. So, be ox first and then you get rich! Itu sudah pasti! Tapi ada yang lebih penting lagi, yang lebih dalam dari sekadar soal menjadi kaya – tertuang dalam kalimat berikut: be xo or be no one! DITULIS KEMBALI DARI TULISAN : Herry Tjajono

PKPU - Lembaga Kemanusiaan Nasional | Berita : PKPU Salurkan Bantuan Sembako untuk Muslim Rohingya

PKPU - Lembaga Kemanusiaan Nasional | Berita : PKPU Salurkan Bantuan Sembako untuk Muslim Rohingya